Wednesday 19 October 2016

KBIJAKAN PELABUHAN

Kebijakan pelabuhan nasional merupakan bagian dalam proses integrasi
multimoda dan lintas sektoral. Peran pelabuhan tidak dapat dipisahkan dari sistem
transportasi nasional dan strategi pembangunan ekonomi. Oleh karena itu kebijakan
tersebut lebih menekankan pada perencanaan jangka panjang dalam kemitraan antar
lembaga pemerintah dan antar sektor publik dan swasta. Munculnya rantai pasok global
(supply chain management) sebagai model bisnis yang diunggulkan, merupakan faktor
kunci dalam perubahan ekonomi global. Perkembangan teknologi informasi, komunikasi
dan transportasi mempengaruhi strategi bisnis yang terintegrasi antara
produksi,pemasaran, transportasi, distribusi dan klaster industri dalam koridor ekonomi.

Berdasarkan UU Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 menetapkan bahwa Rencana
Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) disusun sebagai kerangka kebijakan untuk memfasilitasi
tercapainya visi tersebut. Berdasarkan pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KP
414 Tahun 2013 Tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional, maka akan menjadi acuan
bagi pembangunan kepelabuhanan di Indonesia. RIPN disusun dengan mengintegrasikan
rencana lintas sektor, meliputi keterkaitan antara sistem transportasi nasional dan
rencana pengembangan koridor ekonomi serta sistem logistik nasional, rencana investasi
dan implementasi kebijakan, peran serta sektor pemerintah dan swasta, pemerintah pusat
dan daerah. Berikut adalah perencanaan pelabuhan yang direncanakan oleh RIPN beserta
hirarkinya dan analisa kebijakan Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN).

Hierarki pelabuhan sebagaimana ditetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional
dilakukan dengan memperhatikan kriteria teknis sebagai berikut:
1. Pelabuhan Utama (PU):
a. kedekatan secara geografis dengan tujuan pasar internasional;
b. berada dekat dengan jalur pelayaran internasional ± 500 mil dan jalur
pelayaran nasional ±50 mil;
c. memiliki jarak dengan pelabuhan utama lainnya minimal 200 mil;
d. memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang
e. kedalaman kolam pelabuhan minimal –9 m-LWS;
f. berperan sebagai tempat alih muat peti kemas/ curah/ general cargo/
penumpang internasional;
g. melayani Angkutan petikemas sekitar 300.000 TEUs/tahun atau angkutan
lain yang setara;
h. memiliki dermaga peti kemas/ curah/ general cargo minimal 1 (satu)
tambatan, peralatan bongkar muat petikemas/ curah/ general cargo serta
lapangan penumpukan/ gudang penyimpanan yang memadai.
i. berperan sebagai pusat distribusi peti kemas/ curah/ general cargo/
penumpang di tingkat nasional dan pelayanan angkutan peti kemas
internasional;

2. Pelabuhan Pengumpul (PP):
a. kebijakan Pemerintah yang meliputi pemerataan pembangunan nasional dan
meningkatkan pertumbuhan wilayah;
b. memiliki jarak dengan pelabuhan pengumpul lainnya setidaknya 50 mil;
c. berada dekat dengan jalur pelayaran nasional ± 50 mil;
d. memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
e. berdekatan dengan pusat pertumbuhan wilayah ibukota provinsi dan
kawasan pertumbuhan nasional;
f. kedalaman minimal pelabuhan –7 m-LWS;
g. memiliki dermaga multipurpose minimal 1 tambatan dan peralatan bongkar
muat;
h. berperan sebagai pengumpul angkutan peti kemas/ curah/ general cargo/
penumpang nasional;
i. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang umum nasional;

3. Pelabuhan Pengumpan Regional (PR):
a. berpedoman pada tata ruang wilayah provinsi dan pemerataan
pembangunan antarprovinsi;
b. berpedoman pada tata ruang wilayah kabupaten/kota serta pemerataan dan
peningkatan pembangunan kabupaten/kota;
c. berada di sekitar pusat pertumbuhan ekonomi wilayah provinsi;
d. berperan sebagai pengumpan terhadap Pelabuhan Pengumpul dan
Pelabuhan Utama;
e. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang dari/ke
Pelabuhan Pengumpul dan/atau Pelabuhan Pengumpan lainnya;
f. berperan melayani angkutan laut antar kabupaten/kota dalam propinsi;
g. memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
h. melayani penumpang dan barang antar kabupaten/kota dan/atau
antarkecamatan dalam 1 (satu) provinsi;
i. berada dekat dengan jalur pelayaran antar pulau ± 25 mil;
j. kedalaman maksimal pelabuhan –7 m-LWS;
k. memiliki dermaga dengan panjang maksimal 120 m;
l. memiliki jarak dengan Pelabuhan Pengumpan Regional lainnya 20 – 50 mil.

4. Pelabuhan Pengumpan Lokal (PL):
a. berpedoman pada tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pemerataan serta
peningkatan pembangunan kabupaten/kota;
b. berada di sekitar pusat pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota;
c. memiliki luas daratan dan perairan tertentu dan terlindung dari gelombang;
d. melayani penumpang dan barang antar kabupaten/kota dan/atau
antarkecamatan dalam 1(satu) kabupaten/kota;
e. berperan sebagai pengumpan terhadap Pelabuhan Utama, Pelabuhan
Pengumpul, dan/atau Pelabuhan Pengumpan Regional;
f. berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil,
g. terisolasi, perbatasan, daerah terbatas yang hanya didukung oleh moda
transportasi laut;
h. berperan sebagai tempat pelayanan moda transportasi laut untuk
mendukung kehidupan masyarakat dan berfungsi sebagai tempat multifungsi
selain sebagai terminal untuk penumpang juga untuk melayani bongkar
muat kebutuhan hidup masyarakat disekitarnya;
i. berada pada lokasi yang tidak dilalui jalur transportasi laut reguler kecuali
keperintisan;
j. kedalaman maksimal pelabuhan –4 m-LWS;
k. memiliki fasilitas tambat atau dermaga dengan panjang maksimal 70 m;
l. memiliki jarak dengan Pelabuhan Pengumpan Lokal lainnya 5 – 20 mil.